Sekaleng Sardencis Dan Memori Saat Kecil

    Kenapa Bernama Sardencis?

    Memasuki musim penghujan di Oktober, suasana sehari-hari jadi lebih adem. Jas hujan sekarang harus standby di bagasi motor. Celana kering backup buat di kantor juga harus disiapkan. Cardigan berubah jadi jaket hangat, selimut jadi sering dipakai, dan AC dengan suhu 27 derajat juga terpasang (biasanya 23 derajat celcius hehehe). Bukan cuma hujan, angin kencang juga ikut-ikutan membuat suasana menjadi lebih gloomy. 

    Libur weekday as always, menginap ke rumah Mama sama Rere. Iya bersyukur banget rumah orang tua jaraknya hanya 15 menit dari rumah. Ritual pulang kampung ini waktunya santai-santai, disiapin cemilan, dibuatin makanan apa saja yang dimau sama Mama. Rere pun sibuk main sama sepupu-sepupunya, it's Mommy Time banget buat saya. Bayangkan, biasanya nonton netflix, satu film saja harus di pause beberapa kali, karena Rere so pasti gangguin. Di sini, saya jadi bisa nonton dua film sekaligus dalam satu hari. 

    Malamnya, saya habiskan sampai larut di kamar ngobrol panjang lebar sama Mama, sampai Rere tertidur lelap di tengah-tengah kita. Ceritanya random mulai dari masa lalu, mengingat almarhum Bapak (mama selalu cerita hal menyebalkan sama Bapak :')), Saya rasa banyak hal yang dulu ketika Bapak masih ada, Mama ngga bisa ungkapkan. Tipikal orang tua saat itu kayaknya memendam perasaan ya... walaupun yang dibahas itu-itu saja, tapi Saya anggap itu adalah proses healing Mama.

    Pagi harinya, mama sudah siapakan balado ayam dan tumis terong, so tempting. Balado mama tetap terasa beda, entahlah. Ya bagaimana tidak selama 20 tahun lebih masak masakan mama, lidah nggak bisa dibohongi, walaupun sekarang bisa masak sendiri, ataupun dimasakin mertua yang juga sama enaknya. It still different

    Sejak sore hujan turun beserta dengan bunyi petirnya. Tadinya suami bakal jemput pukul 16.00 sore, tapi berhubung hujan badai, Pulangnya diundur sampai malam. Ditinggal Rere main sama sepupunya, nggak terasa saya jadi "gue ngapain lagi yaaa?". Rupanya diri ini sudah terbiasa dengan panggilan "Ma.. mau pipis", "Ma... ayo dong main", "Ma mau nonton tv", atau ada aja mommy call dari Rere. 

    Akhirnya Saya putuskan untuk memasak yang mudah-mudah saja. Pilihan saya jatuh pada menu makanan kaleng sardencis alias sarden. Sampai sekarang saya heran kenapa disebutnya sardencis, padahal jelas-jelas tidak ada cheese nya. But anyway, sardencis adalah salah satu menu masa kecil Saya. Saya bisa berkali-kali nambah nasi kalau makan dengan ikan ini, ada yang sama dengan Saya?.

    Semua juga mungkin sependapat kalau merek sarden paling enak itu ya Botan. Kalau beli warung dekat rumah, satu kaleng besar ini harganya sudah Rp. 30.000,-, lumayan mahal tapi tidak mengecewakan. 

Sardencis Legenda


    Resep dari Mama, sarden lebih enak kalau ditambah irisan bawang merah, bawang putih, cabai rawit, jahe, dan kunyit. Sisanya tinggal tambahkan garam, gula, penyedap sesuai selera. 


Bahagia denger suara bumbunya ditumis


Setelah semua bumbu ditumis, langsung deh masukan bahan utama si sarden kaleng.



     I used a little bit of violence to smash the sardencis. Kalau kalian tim mana? sardencis dihancurkan atau sardencis utuh?.

    Mama selalu menghancurkan sardencisnya, mungkin agar terlihat lebih banyak isinya, karena satu kaleng sardencis berisi 4 hingga 5 potong ikan. Atau juga Mama sengaja melakukan itu agar anak-anak nya tak perlu susah susah mengunyah makanan, yah apapun alasannya, sardencis kala itu berhasil membuatku nambah berkali-kali. 

Add some chili flake made by my Mom

    Rules selanjutnya adalah tuangkan sardencis di atas nasi panas, dan nikmati. So what is your childhood dishes dear? let me know.



Love,

Atha.






    

    

Komentar